Beranda | Artikel
Perbaharui Iman Perkokoh Tauhid
Sabtu, 17 September 2016

Iman adalah pembenaran yang mantap dan pengakuan yang utuh terhadap segala perintah Allah dan rasul-Nya, menyakini dan tunduk kepadanya baik secara lahir dan batin. Iman meliputi pembenaran hati dan keyakinan yang memiliki konsekuensi amalan hati dan anggota badan. Para ulama menjelaskan bahwa iman adalah, “Ucapan hati dan lisan, serta amalan hati, lisan dan anggota badan.” Sehingga, iman adalah ucapan, amalan, dan keyakinan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan (lihat at-Taudhih wa al-Bayan li Syajarat al-Iman, hal. 7)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka iman bukanlah semata-mata ucapan dengan lisan. Dan juga iman bukanlah semata-mata dengan aqidah di dalam hati saja. Dan bukan pula ia dengan beramal tanpa disertai aqidah dan ucapan. Akan tetapi ketiga perkara ini harus ada dan saling berkaitan satu sama lain.” (lihat Syarh Lum’atil I’tiqad, hal. 175)

Keimanan yang benar akan senantiasa disertai dengan rasa malu kepada Allah, cinta kepada-Nya, harapan yang sangat kuat untuk meraih pahala-Nya, dan rasa takut terhadap hukuman-Nya. Selain itu, keimanan yang benar dan tulus akan menjadi cahaya bagi seorang hamba, yang akan mengentaskan dirinya dari kegelapan dosa (lihat at-Taudhih wa al-Bayan, hal. 63).

Iman dan Amal Salih

Sesungguhnya iman dan amal salih adalah sebab utama untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Semakin bagus seorang hamba dalam mewujudkan iman dan amal salih maka semakin besar pula kebahagiaan yang akan didapatkan olehnya (lihat keterangan Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam Taisir al-Lathif al-Mannan, hal. 346)

Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr : 1-3)

Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Seandainya manusia merenungkan surat ini niscaya ia cukup bagi mereka.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim oleh Imam Ibnu Katsir, 8/479)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Dengan dua hal yang pertama -iman dan amal salih, pent- maka seorang insan berusaha untuk menyempurnakan dirinya sendiri. Dengan dua hal yang terakhir ini -saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran, pent- maka seorang menyempurnakan orang lain. Dan dengan menyempurnakan keempat hal ini seorang insan akan selamat dari kerugian dan akan meraih keberuntungan yang sangat besar.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 934)

Pasang Surut Keimanan

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Salah satu pokok Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwasanya iman bertambah dan berkurang. Hal itu ditopang oleh dalil dari al-Kitab maupun as-Sunnah.” (lihat Fathu Rabb al-Bariyyah bi Talkhish al-Hamawiyyah, hal. 102)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah yang apabila disebutkan nama Allah maka bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya mereka maka bertambahlah keimanan mereka, dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (al-Anfal: 2).

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa iman itu bertambah. Apabila seorang insan mendengar al-Qur’an maka bertambahlah imannya. Dan apabila dia jauh dari al-Qur’an maka berkuranglah imannya.” (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 175)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah juga memaparkan, bahwasanya keimanan umat manusia tidaklah berada dalam derajat yang sama. Iman Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu -misalnya- bisa menyamai keimanan segenap umat ini. Sehingga tidaklah sama antara keimanan Abu Bakar dengan iman yang ada pada kaum muslimin yang fasik. Ini adalah perkara yang sudah jelas. Adapun orang yang mengatakan bahwa iman itu sekedar pembenaran di dalam hati, dan bahwasanya ia tidak bettingkat-tingkat, maka ini adalah perkataan kaum Murji’ah. Menurut pandangan mereka iman Abu Bakar dengan iman orang yang paling fasik adalah sama. Jelas ini adalah kekeliruan yang sangat fatal (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 178)

Khawatir Amalan Lenyap Tanpa Sadar

Imam Bukhari rahimahullah membuat bab di dalam Shahihnya di Kitab al-Iman sebuah bab dengan judul “Bab. Rasa takut seorang mukmin dari lenyapnya amalannya dalam keadaan dia tidak menyadarinya”. Di dalamnya beliau membawakan perkataan para ulama salaf yang menunjukkan betapa besar rasa takut mereka terhadap hal ini. Takut kalau-kalau apa yang selama ini mereka lakukan ternyata tidak bermanfaat di sisi Allah ta’ala. Padahal, mereka adalah mereka…

Imam Ibnu Baththal rahimahullah menerangkan bahwa tujuan Imam Bukhari dengan bab ini adalah dalam rangka membantah sekte Murji’ah yang mengatakan bahwasanya Allah sama sekali tidak akan mengazab karena kemaksiatan terhadap orang yang telah mengucapkan laa ilaha illallah. Menurut Murji’ah pula, amalan pelaku maksiat tidak akan terhapus dengan sebab dosa apapun. Dengan latar belakang itulah Imam Bukhari membawakan di awal bab ini ucapan para imam dari kalangan tabi’in dan juga penukilan dari para Sahabat yang menunjukkan bahwasanya meskipun mereka adalah orang-orang yang memiliki keutamaan dan kesungguhan dalam beramal namun ternyata mereka masih menganggap sedikit amalannya dan mereka takut kalau-kalau dirinya tidak akan selamat dari azab Allah (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/110])

Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata, “Tidaklah aku membandingkan ucapanku dengan perbuatanku kecuali aku khawatir termasuk pendusta.” Ibrahim at-Taimi adalah salah seorang fuqaha tabi’in dan ahli ibadah diantara mereka. Maksud ucapan beliau adalah: Aku takut orang yang melihat amalanku akan mendustakanku ketika perbuatanku bertentangan dengan apa yang aku katakan. Sehingga orang akan berkata, “Seandainya kamu jujur niscaya kamu tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ucapanmu.”

Beliau mengucapkan itu karena beliau sering memberikan nasehat dan pelajaran kepada orang-orang. Sebagai orang yang biasa memberikan nasehat kepada orang lain, beliau menyadari bahwa dirinya tidak bisa mencapai puncak kesempurnaan amalan. Di sisi lain, beliau juga mengetahui bahwa Allah mencela orang yang memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar namun tidak beramal dengan baik. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Amat besar kemurkaan di sisi Allah, ketika kalian mengucapkan apa-apa yang kalian sendiri tidak lakukan.” (ash-Shaff: 3). Oleh karena itu beliau khawatir dirinya termasuk pendusta atau menyerupai perilaku para pendusta (lihat Fath al-Bari [1/136-137])

Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah berkata, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka semua takut kemunafikan menimpa dirinya. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang mengatakan bahwa keimanannya sejajar dengan keimanan Jibril dan Mika’il.” Para Sahabat yang ditemui oleh Ibnu Abi Mulaikah ketika itu -yang paling mulia diantara mereka- adalah ‘Aisyah, Asma’, Ummu Salamah, Abdullah bin ‘Abbas, Abdullah bin ‘Umar, Abdullah bin ‘Amr, Abu Hurairah, ‘Uqbah bin al-Harits, dan al-Miswar bin Makhramah.

Perasaan itu muncul dalam diri mereka disebabkan seorang mukmin terkadang amalannya tercampuri oleh hal-hal yang bertentangan dengan keikhlasan. Bukan berarti, apabila mereka takut akan hal itu mereka benar-benar terjerumus ke dalamnya. Akan tetapi itu semua dikarenakan kesungguhan mereka dalam hal wara’/kehati-hatian dan ketakwaan. Mereka menyadari bahwa keimanan manusia tidak seperti keimanan Jibril yang tidak pernah tertimpa kemunafikan. Mereka menyadari iman manusia itu bertingkat-tingkat, tidak dalam derajat yang sama. Tidak sebagaimana orang-orang Murji’ah yang beranggapan bahwa keimanan orang-orang yang paling baik (kaum shiddiqin) sama dengan keimanan selain mereka (lihat Fath al-Bari [1/137])

Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Tidaklah merasa takut darinya (kemunafikan) kecuali orang mukmin.” Ja’far al-Firyabi mengatakan: Qutaibah menuturkan kepada kami. Dia berkata: Ja’far bin Sulaiman menuturkan kepada kami, dari al-Mu’alla bin Ziyad. Dia berkata: Aku mendengar al-Hasan bersumpah di dalam masjid ini, “Demi Allah, yang tidak ada sesembahan -yang benar- selain Dia. Tidaklah berlalu dan hidup seorang mukmin melainkan dia pasti merasa takut dari kemunafikan. Dan tidaklah berlalu dan hidup seorang munafik melainkan dia pasti merasa aman dari kemunafikan.” Beliau (Hasan al-Bashri) berkata, “Barangsiapa tidak khawatir dirinya tertimpa kemunafikan maka dialah orang munafik.” (lihat Fath al-Bari [1/137])

Takut Bahaya Syirik

Di dalam Kitab Tauhid, Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah telah memaparkan dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya seorang muslim untuk merasa takut dari bahaya syirik dan khawatir terjerumus ke dalamnya.

Dalil yang beliau bawakan adalah firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan mengampuni dosa-dosa lain yang berada di bawah ringkatan itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (an-Nisaa’ : 48)

Demikian pula firman Allah (yang artinya), “Ingatlah ketika Ibrahim berdoa ‘Wahai Rabbku jadikanlah negeri ini -Mekkah- sebagai negeri yang aman, dan jauhkanlah aku serta anak keturunanku dari menyembah patung.’.” (Ibrahim : 35)

Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Qar’awi hafizhahullah dalam kitabnya menjelaskan bahwa kedua ayat ini menunjukkan wajibnya kita untuk merasa takut terhadap syirik dan waspada darinya. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam saja dengan iman beliau yang sangat kuat merasa khawatir apabila diri dan keturunannya melakukan syirik, maka tentu saja kita lebih layak untuk merasa takut darinya (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 55-57)

Ibrahim at-Taimi rahimahullah -salah seorang ulama ahli ibadah dan zuhud yang meninggal di dalam penjara al-Hajjaj pada tahun 92 H- mengatakan, “Maka, siapakah yang bisa merasa dirinya aman dari musibah ini [syirik] setelah Ibrahim -‘alaihis salam-?” (lihat Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan, hal. 32)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam bahkan mengkhawatirkan syirik menimpa dirinya, padahal beliau adalah kekasih ar-Rahman dan imamnya orang-orang yang hanif/bertauhid. Lalu bagaimana menurutmu dengan orang seperti kita ini?! Maka janganlah kamu merasa aman dari bahaya syirik. Jangan merasa dirimu terbebas dari kemunafikan. Sebab tidaklah merasa aman dari kemunafikan kecuali orang munafik. Dan tidaklah merasa takut dari kemunafikan kecuali orang mukmin.” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/72])

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, “Apabila Ibrahim ‘alaihis salam; orang yang telah merealisasikan tauhid dengan benar dan mendapatkan pujian sebagaimana yang telah disifatkan Allah, bahkan beliau pula yang menghancurkan berhala-berhala dengan tangannya, sedemikian merasa takut terhadap bencana (syirik) yang timbul karenanya (berhala). Lantas siapakah orang sesudah beliau yang bisa merasa aman dari bencana itu?!” (lihat at-Tamhid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 50)

Syaikh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah berkata, “Syirik adalah perkara yang semestinya paling dikhawatirkan menimpa pada seorang hamba. Karena sebagian bentuk syirik itu adalah berupa amalan-amalan hati, yang tidak bisa diketahui oleh setiap orang. Tidak ada yang mengetahui secara persis akan hal itu kecuali Allah semata. Sebagian syirik itu muncul di dalam hati. Bisa berupa rasa takut, atau rasa harap. Atau berupa inabah/taubat kepada selain Allah jalla wa ‘ala. Atau terkadang berupa tawakal kepada selain Allah. Atau mungkin dalam bentuk ketergantungan hati kepada selain Allah. Atau karena amal-amal yang dilakukannya termasuk dalam kemunafikan atau riya’. Ini semuanya tidak bisa diketahui secara persis kecuali oleh Allah semata. Oleh sebab itu rasa takut terhadapnya harus lebih besar daripada dosa-dosa yang lainnya…” (lihat Transkrip ceramah Syarh al-Qawa’id al-Arba’ 1425 H oleh beliau, hal. 6)

Keutamaan Rasa Malu

Dari ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshari radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya salah satu ajaran kenabian yang pertama-tama dikenal oleh umat manusia adalah: Jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sekehendakmu.” (HR. Bukhari no 3483).

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Maknanya, apabila kamu hendak melakukan sesuatu, jika hal itu adalah suatu perbuatan yang tidak memalukan di hadapan Allah dan tidak memalukan di hadapan manusia lakukanlah. Kalau bukan, jangan kamu lakukan. Di atas hadits inilah berporos seluruh ajaran Islam.” (lihat ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 158).

Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah menjelaskan, “Hadits ini menunjukkan bahwa rasa malu itu terpuji. Sebagaimana ia berlaku dalam syari’at ini, ia pun berlaku dalam syari’at-syari’at terdahulu. Rasa malu merupakan bagian dari nilai-nilai akhlak mulia yang diwariskan oleh para nabi hingga kenabian itu berakhir pada umat ini. Perintah yang ada di dalam hadits ini menunjukkan kebolehan dan tuntutan apabila perkara yang tidak membuat malu itu bukan sesuatu yang dilarang oleh syari’at. Namun, apabila sesuatu yang tidak membuat malu itu adalah perkara yang terlarang, perintah ini maksudnya adalah tantangan/ancaman, atau menunjukkan bahwasanya perbuatan semacam itu tidak mungkin terjadi kecuali pada orang yang tidak punya rasa malu sama sekali atau sedikit rasa malunya.” (Fath al-Qawi al-Matin, hal. 73)

Syaikh Yahya al-Hajuri hafizhahullah berkata, “Artinya adalah, orang yang tidak punya rasa malu niscaya dia akan melakukan berbagai perbuatan yang tercela.” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 146).


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/perbaharui-iman-perkokoh-tauhid/